Header Ads

Cerpen : Cinta yang Tak Pernah Selesai

Penulis : ARC 

Editor   : RXS

Malam itu begitu sunyi. Hanya ada suara detik jam yang mengiringi setiap denyut jantungku. 

Aku duduk di tepi jendela, menatap bulan yang setengah tersembunyi di balik awan. 

Anganku melayang jauh, kembali ke sebuah masa yang pernah memberi warna dalam hidupku. 

Kisah cinta itu—kisah cinta pertama yang tak pernah benar-benar selesai.

Musim panas saat masih SMA, itulah pertemuan pertama kami. Aku baru saja pulang dari rumah saudara, melewati jalanan kampung yang biasa kulewati. 

Di sana, aku melihatnya, seorang laki-laki yang kukenal tapi tak terlalu akrab.

Saat aku berjalan melewatinya, ia tiba-tiba memanggil, "Adek, mau ke mana? Mau dianterin nggak?"

Aku hanya menoleh sekilas. Rasanya canggung untuk menanggapi. Senyumnya tampak ramah, tapi aku tak membalas ucapannya. "Nggak, terima kasih," jawabku pendek, lalu berlalu begitu saja.

Esoknya, ketika aku membeli pulsa di konter, pemilik konter itu—teman laki-laki yang kemarin memanggilku—tiba-tiba bertanya, "Dek, ada yang mau minta nomor kamu. Boleh nggak?"

Aku terdiam sejenak. Sesuatu dalam diriku ragu, tapi juga penasaran. Setelah berpikir beberapa detik, aku mengangguk. "Boleh."

Beberapa jam kemudian, ada pesan masuk. Ternyata, itu dari laki-laki yang memanggilku kemarin. Pesannya sederhana, tapi ada yang berbeda dalam cara ia menulisnya. 

Percakapan itu membawa kami ke dalam hubungan yang lebih dekat, dan perlahan-lahan, perasaan itu tumbuh.

“Gimana kabarnya hari ini?” tulisnya suatu sore.

Aku tersenyum, lalu membalas, “Baik, kamu?”

Percakapan sederhana itu berlanjut setiap hari. Awalnya hanya basa-basi, tapi semakin lama, semakin dalam. 

Dia mulai menjemputku sepulang sekolah. Kami berjalan-jalan, hanya berdua, membicarakan hal-hal kecil yang membuatku merasa hangat. Rasanya dunia hanya milik kami berdua.

"Seneng ya, bisa seperti ini," katanya suatu hari, ketika kami duduk di bawah pohon rindang, menatap langit sore di bilangan langit dekat dengan Stasiun Kereta Api.

Aku mengangguk. "Iya, seneng banget."

Kami tak butuh banyak kata. Hanya kehadirannya sudah cukup membuatku merasa aman dan bahagia. 

Aku mulai memikirkan masa depan dengannya—membayangkan bahwa dia akan selalu ada di sisiku.

"Aku sayang kamu," ucapnya suatu hari, memandangku dengan mata yang tulus.

Aku menunduk, malu. "Aku juga."

Hubungan kami terus berkembang seiring waktu. Cinta yang kami rasakan semakin dalam, dan kedekatan kami bukan lagi sekadar pertemuan biasa. 

Suatu siang, ketika keluarganya sedang pergi ke luar kota, ia mengundangku ke rumahnya. Aku tak ragu untuk datang, karena selama ini, berada di dekatnya selalu memberi rasa nyaman dan aman.

Saat aku tiba, rumah itu sunyi, hanya suara angin di luar yang terdengar samar. Ia menungguku di depan pintu, tersenyum lembut. "Keluarga lagi pergi. Kita bisa santai di sini," katanya.

Kami masuk ke ruang tamu, duduk berdua di sofa sambil mengobrol. Awalnya, percakapan kami berjalan seperti biasa, tentang hal-hal sederhana dan hari-hari kami. 

Tapi kali ini, ada suasana yang berbeda. Ada keheningan yang terasa mendalam, seperti ada hal tak terucapkan di antara kami.

Dia menatapku lebih lama dari biasanya, senyum kecilnya penuh dengan sesuatu yang tak biasa. 

Perlahan, dia mengulurkan tangannya, menyentuh jemariku. Sentuhan itu lembut, membuatku merasa hangat dan terlindungi. Aku tidak menolak, hanya tersenyum sambil membalas genggamannya.

"Kamu kelihatan cantik hari ini,” ucapnya, suaranya rendah, hampir berbisik.

Aku tertawa kecil, sedikit malu. "Kamu selalu bilang begitu."

Dia mendekat, mendudukkan dirinya lebih dekat denganku di sofa. “Karena itu benar,” jawabnya, matanya menatapku dengan penuh perasaan. 

Napasnya terasa lebih dekat, dan aku bisa merasakan ketegangan yang perlahan menyelimuti kami.

Perlahan, dia menggeser posisi duduknya, membuat jarak di antara kami semakin tipis. 

Tangannya berpindah ke pundakku, mengusap lembut seolah memastikan aku nyaman. Aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat, tapi aku tetap membiarkannya. 

Tidak ada kata-kata yang terucap, tapi matanya berbicara banyak—sebuah bahasa yang hanya kami berdua pahami.

Perlahan, dia mendekatkan wajahnya, dan sebelum aku menyadari, bibirnya menyentuh bibirku. Ciuman itu lembut, sederhana, tapi membawa perasaan yang begitu dalam. Aku menutup mataku, membiarkan momen itu membawa kami lebih dekat.

Kami saling berpelukan, erat tapi tetap lembut. Dia menarikku ke dadanya, merasakan kehangatan yang mengalir di antara kami. 

Tidak ada yang terburu-buru, semuanya terasa begitu alami. Sentuhannya di punggungku menenangkan, seolah dia ingin memastikan bahwa aku nyaman dan merasa dicintai.

"Aku nggak mau kehilangan kamu," bisiknya saat dia melepas ciumannya, wajahnya masih begitu dekat dengan wajahku.

Aku hanya tersenyum, mengangguk tanpa berkata apa-apa. Kata-katanya mencerminkan perasaan yang kurasakan. Siang itu, dalam suasana sepi di rumahnya yang kosong, hubungan kami semakin erat. 

Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan, karena kami sudah tahu apa yang dirasakan hati kami masing-masing.

Ciuman demi ciuman, sentuhan lembut di pipi, dan pelukan yang tak ingin berakhir. Kami duduk lama dalam keheningan, menikmati momen kebersamaan yang terasa begitu intim.

Dan sejak siang itu, hubungan kami berubah. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kuat, yang mengikat kami.

Awal Kehancuran

Waktu terus berjalan, hubungan kami semakin erat. Namun, tak semua kisah cinta berjalan mulus. Suatu hari, salah satu temannya datang padaku dan mengatakan sesuatu yang menghancurkan hatiku.

"Kamu tahu nggak, dia nggak setia," kata temannya tanpa ragu.

Aku terkejut, tak percaya. "Apa maksud kamu?"

Dia menjelaskan panjang lebar, membuat hatiku hancur. Aku ingin mempercayai kekasihku, tapi kata-kata temannya terus mengganggu pikiranku. 

Hari demi hari, keraguan itu semakin tumbuh. Aku mulai menjauh, perlahan-lahan, tanpa mengatakan apa-apa.

Aku mencoba berbicara padanya, menanyakan kebenaran dari semua kabar yang kudengar. Tapi setiap kali aku ingin membahasnya, aku tak sanggup.

Ada apa akhir-akhir ini? Kamu kelihatan beda,” tanyanya saat kami duduk bersama di pinggir dekat rumahku.

Aku menunduk, mencari kata-kata yang tepat. "Nggak apa-apa... cuma lagi banyak pikiran."

Dia menatapku lama, seolah tahu ada sesuatu yang salah. "Kamu nggak percaya sama aku lagi, ya?"

Aku terdiam. Hatinya mungkin sudah tahu, tapi mulutku tak bisa mengucapkannya. Dan itulah awal dari jarak yang semakin memisahkan kami.

Hingga suatu hari, aku bertemu dengan orang lain—seorang pria yang datang ke dalam hidupku tanpa peringatan. 

Dia berbeda. Sederhana, tulus, dan membuatku merasa dicintai tanpa beban. Setelah beberapa bulan, aku memutuskan untuk menikah dengannya, meski di hati kecilku, aku masih memikirkan kekasihku yang lama.

Keputusan Terberat

Hari pernikahan itu tiba. Aku berdiri di depan cermin, mengenakan gaun pengantin. Hati ini penuh keraguan. Di sudut hatiku, aku masih berharap dia datang—dia yang dulu pernah menjadi segalanya bagiku.

"Kenapa kamu nangis?" tanya kerabatku, ketika dia melihat air mata di pipiku.

Aku tersenyum pahit. "Nggak apa-apa... cuma gugup."

Tapi kenyataannya, aku menunggu. Aku menunggu dia datang, menjemputku, membawa aku pergi dari sini. 

Namun, dia tak pernah muncul. Sampai azan subuh berkumandang, aku menyadari bahwa harapanku telah pupus. Aku akan menikah dengan orang lain.

Sisi laki-laki

aku mendengar kabar bahwa dia telah menikah dengan pria lain. Rasanya seperti gempa bumi mengguncang duniaku. Aku tak diundang ke pernikahannya, dan mungkin memang lebih baik begitu.

"Apa kabar?" tanyaku pada diri sendiri, ketika aku melihat fotonya di media sosial. Ia tampak bahagia, lebih cantik dari yang kuingat.

Aku tahu aku tak boleh lagi memikirkannya, tapi kenangan itu terus menghantui. 

Mungkin aku seharusnya melarikannya saat ia memintaku, tapi saat itu, aku tak bisa. Egoku terlalu besar untuk memperjuangkan apa yang sudah kugenggam.

"Aku bodoh," gumamku pada diri sendiri. Tapi tak ada yang bisa kulakukan lagi. Hidupnya telah berubah, begitu pula hidupku.

Pertemuan yang Tak Disangka

Suatu hari, sebuah pesan muncul di Messenger. Namanya berbeda, tapi fotonya, aku tahu itu dia. Setelah bertahun-tahun, dia menghubungiku lagi. Pesannya singkat, menanyakan kabar.

"Hei, gimana kabarnya?"

Aku terdiam lama sebelum membalas. "Baik. Kamu?"

Percakapan kami berlanjut, perlahan, seperti dulu. Kami saling menanyakan kabar keluarga, pekerjaan, kehidupan. 

Tapi ada sesuatu yang tak terucapkan di antara kami—kenangan yang pernah kami bagi, cinta yang tak pernah benar-benar hilang.

"Aku sering mikirin kamu, tau," tulisnya suatu malam.

Aku membaca pesan itu berkali-kali sebelum membalas. "Aku juga."

Pertemuan kami tak pernah benar-benar berhenti. Di beberapa acara, kami bertemu lagi. Senyumnya masih sama, begitu pula caranya menatapku. Ada saat-saat di mana kami bisa berbicara lama, mengobrol seperti dulu.

"Aku kangen masa-masa kita dulu," katanya suatu kali, suaranya pelan.

Aku hanya tersenyum, menahan perasaan yang tak bisa kuluapkan. "Aku juga."

Namun, kami tahu, hidup kami telah berbeda. Kami masing-masing telah memiliki keluarga, tanggung jawab, dan jalan yang tak mungkin lagi bersatu. Tapi, di sudut hati kami, cinta itu masih ada—tersimpan rapi, meski tak pernah selesai.

Epilog: Cinta yang Tak Pernah Selesai

Kini, hidup kami terus berjalan. Dia dengan keluarganya, aku dengan keluargaku. Namun, di setiap langkahku, ada bayangan dirinya yang tak pernah benar-benar hilang. Cinta pertama memang selalu meninggalkan jejak yang mendalam, jejak yang tak bisa dihapus oleh waktu.

Meski kami tak lagi bisa bersama, aku tahu cinta kami tak pernah benar-benar selesai. Kami hanya mengikuti jalan hidup yang telah ditentukan, meski hati kami masih menyimpan kenangan yang tak akan pernah hilang.

"Cinta yang tak pernah selesai," gumamku, menatap langit malam. Mungkin itulah cara semesta bekerja—membiarkan beberapa cinta tetap ada dalam bentuk kenangan, tak pernah berakhir, tapi juga tak pernah bersama.

Tidak ada komentar

Advertisement
Diberdayakan oleh Blogger.